Penulis         : fahmi fr

Inspiration  : Lagu Sammy shimorangkir “kesedihanku” dan kisah pribadiku yang lalu

Summary      : fahmi, 22tahun, menikah muda dengan hime, tapi hubugan mereka tidaklah disetujui oleh keluarga hime, yang merasa terlalu cepat mereka menikah, itu semua tidak menjadikan kebahagiaan mereka hilang,, mereka bahagia sampai saat-saat itu tiba…

Tokoh yang muncul dalam cerita : aisyah, nasron, khoirul yaqin, sa’diyah, Sandra, fahmi

Maaf ya se’enaknya memakai nama kalian, hehehe, tanpa izin dulu… tapi ini Cuma sebuah cerita pendek yang dibuat oleh amatir, jadi mohon atuh dimaklumi, dan bisa minta saran dan pendapatnya…

…………………………………………………………………………

Sudut panndang Fahmi

Bulan tidak muncul malam ini, malam ke 5 dari bulan Fbruari. Aku duduk menghadap langit menyaksikan bintang-bintang yang saling berkedip. Malam ini aku ke sini, ke tempat ini, datang khusus untuk menatap langit menunggu datangnya pelangi. Mungkin ini sesuatu yang gila,karena sampai kapanpun tak akan pernah ku temui lagi pelangi dimalam hari, dan mungkin saja aku akan dianggap mencoreng nama baik keluargaku karena melakukan hal gila ini, keluarga Uchiha. Tapi inlah yang selalu ku lakukan setiap tahun tepatnya setiap tanggal 5 Februari, itu adalah tanggal yang sangat bersejarah, hari lahirnya seseorang yang menjadi malaikat hidupku. Walaupun kini dia kembali ke sisi Tuhan, tapi masih ku ingat dan tak mungkin ku izinkan hilang dari memoryku setiap kenangan tentangnya, senyumnya yang entah mengapa mampu mempengaruhiku untuk turut tersenyum, pandangan mata bulat yang meneduhkan, tak pernah ku lihat kesedihan disana, dan rambut ikalnya yang selalu lembut dan beraroma khas.

Hime, nama yang sederhana namun indah. Kini menjadi nama salah satu bidadari di nirwana sana.

~Sepinya hari yang ku lewati~

 

~Tanpa ada dirimu menemani~

 

~Sunyi ku rasa dalam hidupku~

 

~Tak mampu aku tuk melangkah~

Sudah empat tahun sejak kejadian itu. Saat itu adalah saat yang tidak akan pernah ku lupakan. Berawal karena penyakit yang di deritanya, penyakit yang bahkan dokterpun tak dapat mengidentifikasinya. Hime harus terkulai lemah di rumah sakit berjuang melawan penyakitnya dengan bantuan seorang dokter dan perawat-perawatnya. Dan aku di balik jendela tempatnya dirawat, sungguh memalukan, tak ada yang dapat ku perbuat untuknya, dalam hatiku hanya terus berharap agar ia disembuhkan atau paling tidak beri kami waktu sedikit lagi untuk bersama. Tubuh 20 tahun itu terlihat sangat lemah di atas ranjang rumah sakit yang sempit. Ayah dan saudaranya tampak sangat sedih dan khawatir.

Seorang pria berambut panjang yang memiliki mata yang sama dengan Hime menghampiriku, dia adalah kakaknya Hime. Langkahnya begitu besar dan cepat, tangannya terkepal dan wajahnya memerah karena menahan amarah. Aku tahu apa yang akan dia lakukan padaku, Buaakkk! Sebuah tinju tepat dilayangkan ke wajahku, seperti belum puas sebuah tinju lainnya dilayangkan di perutku, ku rasakan darah mengalir dari mulutku, tapi apa yang dapat ku lakukan? Aku pantas menerimanya.

"Kau puas hah? Kau puas melihat adikku menderita? Besar sekali nyalimu masih menampakkan wajah disini,"

"….."

"Apa? Kenapa diam saja?"

"Aku mencintai istriku," jawabku tanpa melihat ke arahnya.

"Masih pantas kau menganggap dirimu suami Hime? Brengsek!"

Satu lagi pukulan telak di rahangku, aku sudah mati rasa, ini tidak sebanding dengan penderitaan yang di alami Hime sekarang.

"Kak Sandra sudah, inikan bukan sepenuhnya salah kak Fahmi, bagaimanpun juga, dia itu suami kak Hime, aku yakin dia juga terpukul dengan keadaan kak Hime sekarang, kita semua sama-sama sedih, untuk apa bertengkar?"

Aisyah, adik bungsu Hime, satu-satunya anggota keluarga yang menyetujui penuh hubunganku dengan Hime.

"Anak kecil diam saja! Kau tau apa? Si brengsek ini yang menyebabkan Hime sampai harus menderita seperti ini,".

"Aku memang masih kecil, tapi setidaknya hargailah Ayah.." dia memandang ke arah Hiashi-sama yang kini sedang duduk menutup wajahnya dengan telapak tangan dan kedua sikunya menumpu pada lutut. "Jangan membuatnya semakin bertambah sedih," lanjutnya disertai dengan air mata yang sudah mulai menuruni pipinya.

Sandra tampak mulai dapat mengendalikan diri, bukan berarti aku juga bisa bernapas lega, akan ada saatnya nanti dia tidak akan melepaskanku.

Suasana hening yang menyesakanpun kembali tercipta, aroma obat khas rumah sakit menguar dimana-mana, sedangkan disekelilingku hanya dipenuhi warna putih dinding yang dingin. Dua jam kemudian, dokter yang merawat Hime akhirnya keluar.

"Dok bagaimana anak saya?" ayah Hime langsung menghampiri dokter itu dengan ekspresi khawatir. Denagn mimic pasrah dokter itu menjawab, "Sebelumnya kami mohon maaf, ini kasus yang sangat sulit, karena kehilangan bayinya yang masih dalam kandungan beberapa waktu yang lalu, membuat Hime shock berat, hal ini makin memperparah penyakitnya," "Kakak saya sakit apa dok?" Aisyah tidak kalah khwatirnya. "Kami juga belum mengetahui dengan jelas penyakitnya, semacam kanker otak, tapi lebih parah dari itu, ini penyakit yang sangat berbahaya, kemungkinan selamat sangat kecil, menurut medis Hime hanya mampu bertahan satu atau dua hari saja. Sebenarnya Hime sudah mngidap penyakit ini sejak lama, tapi ia memaksaku merahasiakannya, karena itu aku benar-benar minta maaf," Jelas dokter juga temanku dan hime saat masih sekolah dulu, bernama Nasron itu panjang lebar. Mendengar Hime menderita penyakit yang sangat parah terlebih lagi ia hanya mampu bertahan dalam waktu sesingkat itu, tanpa sadar ku rasakan air mata mengalir deras di pipiku.

"Saya harap selama itu jangan sampai hatinya sakit atau jiwanya terguncang. Buat dia selalu bahagia. Saya permisi," lanjutnya sebelum dia berlalu. Tak lama kemudian seorang perawat yang sangat ku kenal,terutama rambut pipinya yang chuby itu, dia sahabatku dan Hime, Alya, mengampiri kami.

"Hime sudah sadar, tapi dia butuh istrahat, besok pagi baru boleh di besuk," kemudian dia melihat ke arahku, ku rasakan tepukan lembut di pundakku. "Sabar ya fham..” kemudian Alya juga pun pergi.

Ku pandangi Hime dari luar jendela, dia tampak sangat pucat, tiba-tiba ada suatu rasa dalam dada ini yang mendesak ingin tersampaikan, perasaan rindu ingin memeluknya, merengkuh dan membuatnya merasa terlindungi seperti biasanya, namun rasa itu terpaksa harus tertahan, semoga esok lekas menjelang.

.

.

@@@@@@@@

.

.

Pagi sudah menyapa, itu artinya akau sudah boleh menjenguk Hime, Tidur di kursi rumah sakit, membuat pinggangku sedikit sakit, sedikit kesulitan untuk bangun. Jam tanganku menunjukan pukul 06.00. ku acuhkan sakit yang bukan seberapa ini, ada yang jauh lebih penting. Aku berjalan, melewati kamar Hime.

Setelah hampir satu jam, aku kembali lagi ke kamar Hime. Kalau benar apa yang di katakan dokter, juga temanku -Nasron tadi malam, berarti aku hanya punya kurang dari sehari untuk bersamanya. Aku sangat tidak ingin mempercayai itu, terus ku yakinkan hatiku bahwa Hime pasti mampu bertahan, kami akan bersama lagi, bahagia seperti dulu bahkan jika cinta kami tak akan pernah mendapat restu dari ayahnya. Ku masuki kamar rawat Hime dan hendak menyapanya, tapi ternyata aku keduluan olehnya, saat ku buka pintu.. "Ohayou Fahmi-kun," dia menyapa dengan wajah berseri-seri walaupun pucat.

Ku langkahkan kakiku memasuki kamar rawatnya. "Ohayou Hime, bagaimana keadaanmu sekarang?". Ia membalas pertanyaanku dengan sebuah senyuman.

Wanita ini, wanitaku. Dia benar-benar malaikat bahkan sebelum ia mengenal surga.

~Masih ku ingat indah senyummu~

 

~Yang selalu membuatku mengenangmu~

.

.

"Bagaimana? Enak?"

"Ehm," ia mengangguk dan berusaha tersenyum dengan mulutnya yang penuh. Manis sekali, rambut ikalnya walau terlihat acak-acakan tapi tetap saja aku meleleh melihatnya

Aku pun ikut tersenyum, seingatku aku tidak pernah memasak dengan enak, walau aku suka memasak. aku tahu dia berbohong. Lemper itu sama sekali tidak enak. Ya, begitulah Hime, tidak pernah membuatku kecewa.

"Apa benar-benar enak?"

"Hm.. sebenarnya sedikit pahit, apa yang kau masukan Fahmi-kun?" ia mengerutkan keningnya seraya memperhatikan lemper yang tersisa setengah gigitan di tangannya.

"Aku tidak tahu," jawabku asal seraya memalingkan wajah, sejujurnya aku malu.

Ia tampak terkikik melihat ekspresiku.

"Aaa.. ayo! Fahmi-kun juga makan," ia menyuapkan satu Lemper ke mulutku, dan langsung ku sambut. Setelah itu ia mencium pipiku, aku sedikit terkejut, tapi sedetik kemudian aku tersenyum.

"Maafkan aku," lirihnya seraya menunduk.

Aku menyentuh pipinya dengan tanganku yang kurus.

Hime mengangkat kepalanya, "Maaf, aku tidak bisa mempertahankan anak kita," butir-butir bening mengalir di pipinya.

Aku masih terdiam saja, memberikannya waktu untuk Hime mengutarakan semua yang ingin dia katakan.

"Aku takut Fahmi-kun tidak mencintaiku lagi," ia lagi-lagi menunduk.

Ku raih dagunya, mensejajarkannya dengan wajahku. "Aku mencintaimu tanpa syarat Hime, mungkin Tuhan bermaksud memberikan kita waktu lebih banyak untuk berdua,"

"Tapi—"

"Bahkan kalaupun kita harus hidup berdua sampai selamanya, tidak masalah bagiku," senyum tulus mengakhiri kalimatku.

"Aku merindukanmu," gumamnya.

"Aku juga merindukanmu Hime," lalu aku mempersempit jarak antara kami. Ku kecup keningnya dengan lembut.

.

.

@@@@@@@@

.

.

(sudut pandang normal)

Kamar itu tampak seperti kamar-kamar rumah sakit pada umumnya. Dinding-dinding bercat putih, yang entah kenapa harus putih. Juga ranjang rumah sakit yang tidak besar. Di atasnya Hime terlihat tengah tertidur, dan disamping gadis itu, Fahmi, suaminya tidur dengan posisi duduk dengan telapak tangan Hime sebagai bantalnya. Siapapun yang melihat keduanya kini pasti akan tersenyum.

Fahmi tampak mulai membuka matanya, dipandanginya sang istri yang kini tertidur pulas. Ingatannya kembali ke waktu itu.

*Flash Back*

"Duk..duk..duk.." suara pintu yang di gedor dengan kasar itu terdengar untuk yang ketiga kalinya.

"Duk…duk…duk, Fahmi! Keluar kau!" Sandra berteriak tanpa peduli kalau sekarang waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam.

"Ada apa?" Fahmi keluar dengan ekspresi malasnya.

'Buaakk!' sebuah tinju di layangkan ke wajah Fahmi. Mendapat perlakuan yang tiba-tiba seperti itu membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Fahmi memegangi rahangnya yang sakit, terlihat darah mengalir di sudut bibirnya. Sementara Sandra tampak tidak peduli dengan Fahmi, ia melangkah masuk ke dalam rumah tersebut.

Hime yang mendengar ada keributan tampak muncul dari dalam kamar, "Fahmi-kun ada ap—" perkataan Hime terhenti begitu melihat suaminya yang tengah berusaha berdiri, terlebih lagi ketika mlihat darah di mulut suaminya itu. "Fahmi-kun, kamu kenapa?" Hime menghampiri suaminya.

Hime menatap kakaknya meminta penjelasan, "kakak? Apa yang terjadi? Kenapa kakak memukul Fahmi?"

"Dia memang pantas mendapatkannya, ayo Hime! Pergi dari sini!" Sandra menarik lengan Hime, tapi langsung di tepis olehnya.

"Aku tidak mau! Jelaskan dulu padaku yang sebenarnya terjadi kak..?,"

"Tapi berjanjilah setelah itu kau akan ikut denganku pergi dari sini,"

"Ta-tapi aku ingin bersama dengan suamiku," suara Hime terdengar mulai bergetar.

"Dia sudah menghianatimu Hime, sejak awal aku sudah tahu dia tidak pantas menjadi suamimu,"

Fahmi yang tadinya diam saja kini berekpresi sama dengan Hime, matanya membulat meminta penjelasan lebih lanjut dari Sandra atas apa yang baru saja dikatakannya.

"A-apa maksud kakak?" genangan air mata tampak sudah berkumpul di pelupuknya.

Sandra merogoh saku mantelnya, mengeluarkan amplop coklat berukuran sedang. Ia membantingnya sembarang di atas meja kaca di ruang tamu itu.

"Seseorang mengirimkan itu kepadaku!"

Hime menatap amplop tebal itu, tangannya lalu terjulur meraihnya. Dengan ragu ia membuka amplop itu, kini Hime bisa melihatnya, amplop itu berisi foto-foto. Hime mengeluarkan foto-foto itu, di lihatnya satu per satu, hatinya bagai di sayat ketika melihat foto yang ke-empat, yang menampilkan gambar suaminya tengah mencium wanita lain, wanita berwajah oriental yang dikenalnya bernama sa’diyah

Hime seperti kehilangan tenaganya, foto-foto itu jatuh begitu saja dari tangannya, ia mulai menangis. Fahmi melihat perubahan ekspresi sang istri, ia segera memungut foto-foto itu dan melihatnya. Ia akhirnya tahu apa yang menyebabkan istrinya seperti itu.

Hime menatap Fahmi sendu, ia tidak berkata apa-apa, tidak juga mendesak Fahmi untuk memberi penjelasan, ia hanya terus menangis. Fahmi terlihat mendekat ke istrinya, namun bahunya segera di dorong oleh kakak Hime.

"Menyingkir dari adikku! Ayo Hime, kau harus pergi dari sini," ia kembali menarik tangan Hime. Tapi gadis itu tak bergeming.

"Kau kenapa Hime?" Sandra merasa tidak percaya dengan apa yang dilakukan adiknya, atau lebih tepatnya tidak percaya karena adiknya tidak melakuakan apa-apa.

"A-aku tidak bisa kak,"

Sandra mengkerutkan keningnya.

"Aku tidak bisa meninggalkan Fahmi-kun, aku sekarang sedang mengandung anaknya," katanya dengan suara serak seraya memegangi perutnya yang rata.

Sandra mengikuti arah tangan Hime, ia tampak terkejut. Tidak hanya Sandra, Fahmi juga, ia membelalakan matanya mendengar penuturan mengejutkan dari istrinya.

"Hime, kau—" binar mata onyx itu tampak bahagia. "Kenapa tidak memberitahuku?"

"A-aku berniat memberi kejutan," Hime menunduk, namun tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya, menatap sang kakak, "Karena itu kak, aku ingin tetap bersama Fahmi-kun,"

Sandra menghela napas lelah. "Jadi maksudmu kau percaya pada pria ini?"

"Ma-maafkan aku kak," Hime menunduk.

"Tidak Hime, kau hanya dibutakan oleh cinta, dia ini brengsek, dan aku tidak akan membiarkanmu bersama dengan orang ini. Suka atau tidak, aku tetap akan membawamu pulang," Sandra lalu menarik lengan Hime, walaupun Hime tetap menolak, sekarang ia tidak ragu-ragu lagi, ia menyeret adinya itu keluar.

"Hime!" Fahmi berusaha mengejar Hime yang dibawa kakaknya yang kini sudah sampai di luar rumah, sederhana bercat padu biru dan hijau

"Diam kau," Sandra kembali meukul wajah Fahmi. Pukulan yang membuat pemuda bermata onyx, berambut gaya acak-acakan itu tersungkur. Bukan karena Fahmi yang lemah, tapi pukulan kali ini lebih keras dari sebelumnya seakan pukulan ini memang untuk menghentikan Fahmi, terlebih lagi Sandra terbilang postur tubuhnya lebih besar dan gempal.

Fahmi tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa memandang istrinya yang terus melihatnya dengan air mata di pipinya yang kini semakin menjauh.

~Engkau masih yang terindah~

 

~Indah di dalam hatiku~

 

~Mengapa kisah kita berakhir yang seperti ini?~

.

.

Sudah dua bulan ia berpisah dengan istrinya, Fahmi sangat merindukan Hime. Setiap hari ia pergi ke rumah keluarga Hime, dan setiap hari juga ia di usir dari sana. Ia mengutuk dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa pada saat Hime dibawa pergi, dan sekarangpun ia tidak berdaya.

Fahmi kini sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya, ia sudah melamun di sana sejak sepuluh menit yang lalu, ia bahkan baru menyadari ponselnya yang sedari tadi berdering.

"Ya?" Fahmi menjawab telponya dengan enggan dan datar.

"Kak Fahmi," terdengar suara seorang perempuan di seberang.

"Aisyah?"

"Kak, kak Hime," Aisyah terdengar mulai menangis.

"Ada apa dengan Hime?" Fahmi kini benar-benar khawatir.

"Kak Hime jatuh di kamar mandi, dan dia… hiks.. dia keguguran," dia berkata dengan terbata-bata.

"Apa? Dimana Hime sekarang? Di rumah sakit?"

"Ti-tidak, sekarang kakak sudah di rumah, maaf ya kak baru memberitahumu sekarang, ayah dan ibu melarangku memberitahu kak Fahmi, tapi aku khawatir dengan keadaan kak Hime, sejak kehilangan bayinya, dia tidak mau makan dan keluar kamar."

"Aku akan ke sana,"

"Cepat kak, ku rasa yang kini dibutuhkan kak Hime memang kak Fahmi,"

"Iya," Fahmi lalu memutuskan telponnya.

Ia tahu sejak dulu ia akan semakin memalukan jika hanya berdiam diri saja. Ia lalu keluar dari rumahnya dengan memakai jaket, dan terlihat ia menggenggam kunci mobil di tangannya. Tanpa memperdulikan hujan lebat yang kini menghujam bumi, Fahmi melajukan mobil  Honda lazer 270 hitamnya.

Lima menit sudah Fahmi melajukan mobilnya, tujuannya tentu saja ke rumah mertuanya, ia ingin membawa kembali istrinya. Ia melihat kerumunan orang di tengah jalan, mungkin seseorang baru saja mengalami kecelakaan, pikirnya. Fahmi melewati saja kerumunan itu, ia memfokuskan pikirannya pada Hime yang kini membutuhkannya.

Setelah melaju satu kilometer dari kerumunan itu, tiba-tiba Fahmi mengerutkan keningnya ketika melihat mobil yang ia kenal menuju ke arahnya. Ketika mobil itu semakin mendekat, ia jadi yakin bahwa itu memang mobil Sandra. Fahmi ikut meminggirkan mobilnya ketika melihat mobil Sandra berhenti. Tampak Sandra keluar terburu-buru dari mobilnya dan berjalan ke arah mobil Fahmi.

"Buka!" ia menggedor kaca mobil Fahmi. "Mana Hime?" tanyanya ketika bisa melihat wajah Fahmi setelah kaca mobilnya diturunkan.

"Apa maksudmu? Bukanhakah dia di rumah kalian?"

"Hah!" Sandra meremas rambutnya frustasi. "Dia kabur ketika tidak ada yang mengawasinya,"

"Apa?"

"Dimana dia? Aku takut terjadi apa-apa padanya," Sandra tampak memijat-mijat pelipisnya.

Fahmi membelalakan matanya, menyadari sesuatu. Ia lalu menyalakan mobilnya dan berbalik arah. Ia melaju ke arah kerumunan orang yang tadi ia lewati. Tanpa ia sadari Sandra mengikutinya dari belakang.

Fahmi turun dari mobilnya, menerobos kerumunan. Ia tidak berharap orang yang ada di dalam itu Hime, tapi entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak.

Ia membelalakan matanya ketika melihat sosok yang terbaring lemah di aspal itu adalah istrinya, "Hime," ia menghampiri istrinya dan memeluknya. Tidak peduli ia sekarang berada di tempat umum atau apa, ia menangis memeluk istrinya yang sudah tak sadarkan diri.

Fahmi segera menggendong istrinya dan hendak membawanya ke mobil, namun Sandra menghadangnya.

"Berikan Hime padaku!"

"Tidak, aku yang akan membawa Hime,"

"Kau tidak pantas menyentuh adikku lagi," Sandra lalu mengambil Hime dari gendongan Fahmi. Entah kenapa Fahmi seketika membantu mendengar kata-kata itu.

Benarkah dia tidak pantas lagi untuk Hime?

Tidak, dia suaminya, dan dia mencintainya, itu lebih dari cukup.

Fahmi lalu menyusul Sandra yang kini membawa Hime ke rumah sakit.

.

.

*Flash Back End*

.

"Kau melamun?" suara lemah Hime menyadarkan Fahmi kembali dari ingatan itu.

"Kau sudah bangun?"

Hime hanya tersenyum menjawab pertanyaan Fahmi.

'klek' tiba-tiba pintu kamar rawat Hime itu di buka oleh seseorang.

"ayah?"

Ayah Hime masuk ke dalamnya. Sandra dan Aisyah tampak mengikuti di belakangnya.

"Kau masih disini?" emosi Sandra tiba-tiba naik melihat Fahmi berada di kamar tersebut.

"kak… kumohon…" Hime menatap sendu ke arah sang kakak, sementara salah satu tangannya, mengeratkan genggamannya pada Fahmi.

"Apa kau benar-benar mencintai Fahmi?" suara ayah Hime mulai terdengar. "Aku sudah mendengar semuanya dari kakakmu, apa kau benar-benar masih ingin bersamanya, Hime?"

"Iya ayah," air mata Hime mulai turun.

"Baiklah kalau begitu, ayah harap kamu tidak menyesali keputusanmu,"

"ayah? Tapi laki-laki ini—" Sandra hendak melayangkan protesnya.

"Aku akan menjaga Hime, paman. Aku berjanji," Fahmi memandang lurus ke arah sang mertua.

"Hn," ayah Hime lalu keluar dari kamar itu.

Sandra segera mengikuti ayahnya dengan terburu-buru.

"Bagaimana keadaan kakak?" Aisyah tersenyum tulus pada kakaknya.

"kakak baik-baik saja," Hime tersenyum.

"Ini, aku bawakan baju ganti kak, dan barang-barang keperluan kakak yang lainnya," ia meletakkan tas yang dibawanya di atas sofa di kamar itu.

"Terima kasih aisyah," ia kembali tersenyum.

"Aku pergi sekarang yah kak, dah kak Fahmi…"

Fahmi hanya mengangguk.

.

.

"Kenapa ayah membiarkan Hime bersama dengannya?"

"Apa kau tidak ingat kata dokter Nasron? Kita harus membuat Hime selalu bahagia kan? dan lihat Hime sekarang, kebahagiannya adalah bersama Fahmi,"

"Tapi ayah, laki-laki itu—"

"Ayah takut kehilangan Hime,"

Sandra bungkam mendengar kata-kata ayahnya dengan nada sesedih itu.

……………………..

~Masih ku ingat indah senyummu~

 

~Yang selalu membuatku mengenangmu~

 

~Terbawa aku dalam sedihku~

 

~Tak sadar kini kau tak di sini~

.

.

@@@@@@@@

.

.

"Kenapa kau merahasiakan penyakitmu?" Fahmi menempelkan tangan Hime ke pipinya.

"Aku tidak ingin Fahmi-kun khawatir,"

"Aku justru lebih khawatir kalau melihatmu seperti sekarang ini," Fahmi sedikit menaikan nada bicaranya.

"Apa Fahmi-kun marah? A-aku minta maaf," nadanya terdengar sedih dan takut.

Fahmi menyadari sikapnya barusan telah membuat Hime ketakutan, kemudian ia melembutkan suaranya, "Aku hanya takut kau kenapa-napa Hime, dan seharusnya aku yang minta maaf—" ia memberi jeda sejenak, kemudian melanjutkan. "Tentang foto itu… wanita itu sa’diyah, teman sekantorku, kau juga mengenalnya-kan.. aku tidak tahu bagaimana foto-foto itu bisa ada di tangan kakakmu, tapi waktu itu kejadiannya tidak seperti yang orang-orang bayangkan,"

"Aku tahu, aku percaya pada Fahmi-kun,"

"Tidak Hime, biar aku jelaskan dulu,"

*Flash Back*

Waktu sudah menunjukan pukul 17.00. Fahmi tampak menuruni tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua kantornya. Ia terlihat terburu-buru karena ia berjanji akan makan malam di luar dengan Hime malam ini.

Di ujung tangga terlihat seorang wanita berambut cantik, bermuka bulat dan manis tengah terduduk di lantai, ia tampak kesakitan seraya memegangi betisnya. Awalnya Fahmi mengacuhkannya karena mengetahui bahwa wanita itu adalah sa’diyah, wanita yang dulu pernah menyukainya. Namun akhirnya Fahmi menjadi tidak tega ketika wanita itu meminta tolong sambil menangis, terlebih lagi betisnya memang terlihat sedikit bengkak.

Fahmi akhirnya menghampirinya dan mngulurkan tangannya untuk menolong Sa’diyah. Ketika wanita itu sudah berhasil berdiri, ia tiba-tiba menempelkan bibirnya ke bibir Fahmi. Fahmi segera mendorng wanita itu menjauh darinya, hingga Sa’diyah jatuh tersungkur ke lantai. Fahmi tidak perduli jika sekarang wanita itu benar-benar kesakitan, ia menatap tajam ke arah Sa’diyah, tatapan kesal dan marah, ia kemudian berjalan pergi meninggalkan wanita itu.

………………

*Flash Back End*

…………….

Hime hanya diam saja mendengarkan cerita atau yang lebih tepat disebut penjelasan Fahmi. Ia tersenyum tipis ketika Fahmi mengakhiri ceritanya.

"Aku percaya kok… siapa suruh Fahmi-kun terlalu tampan?" ia terlihat tertawa kecil.

"Benar juga, kurasa aku memang terlalu tampan," Fahmi berkata dengan ekspresi bingung yang dibuat-buat.

"Narsis," Hime meninju bahu suaminya.

Fahmi senang bisa melihat Hime tersenyum lagi.

"Fahmi-kun,"

"Hn?"

"Bawa aku kabur dari sini,"

"Eh?"

"Aku serius, aku ingin keluar dari rumah sakit ini, aku tidak suka disini," ia mengerucutkan bibirnya.

"Tapi sekarang sudah sore Hime, lagipula diluar sedang hujan,"

"Aku mohon," matanya membulat besar seperti anak kucing, apalagi memang matanya sudah bulat, tapi jika orang melihatnya saat itu pasti bilang “indah”.

"Tapi kita mau kemana?"

"Kemana aja, yang penting bersama Fahmi-kun, kemanapun aku senang kok,"

"Baiklah, kalau begitu, tapi ganti dulu bajumu,"

"Iya, Fahmi-kun keluar dulu,"

"Tidak mau, aku di sini saja,"

"Mesum!"

"Baiklah…baiklah," Fahmi lalu keluar dan menutup pintu kamar rawat Hime.

.

.

@@@@@@@@

.

.

Sudut pandang Fahmi

Sekarang kami berada di dalam mobilku, aku hanya melajukan mobilku. Ya, hanya melajukannya tanpa arah yang jelas. Hime kini duduk di sampingku, aku memandanginya, aku senang dia berada di sampingku, dan bisa terus melihat senyumnya. Tiba-tiba Hime melihat ke arahku, ia mengetahui aku memperhatikannya. Aku tersenyum padanya, sebelum akhirnya ku kembalikan lagi focus ku ke jalan raya yang kini kami susuri, jalan yang masih diguyur gerimis sejak kemarin sore.

"Ada apa?" ku dengar ia bertanya.

"Hn?" aku mengangkat sebelah alisku, tanpa mengalihkan fokusku dari jalan.

" kenapa melihatku?"

Aku menoleh ke arahnya, ku lihat ia tersenyum penuh arti. Dia tahu aku sedang sangat malu.

"Kenapa kau memakai baju itu?" tanyaku aneh. baiklah sebut saja itu pengalihan pembicaraan.

"Eh? Bukankah tadi Fahmi-kun yang menyuruhku mengganti baju?" sekilas ku lihat ia mengerutkan keningnya.

"Maksudku kenapa baju itu yang kau pilih?"

"Oh.. " mulutnya membulat, ia tersenyum sebelum kemudian melanjutkan. "Karena ini adalah satu-satunya baju pemberian Fahmi-kun, Fahmi-kun tidak ingat?"

Tentu saja aku ingat, terutama hal yang memalukan itu, ah…bodoh dan memalukan..!

"Tapi baju ini terlihat seperti baju ibu-ibu, modelnya juga ku rasa sudah ketinggalan zaman, Fahmi-kun tidak pandai memilih," ku lihat Hime tampak memperhatikan baju yang memiliki banyak manik-manik itu.

Ku rasa aku sudah salah memilih topic pembicaraan, aku jadi harus ingat hal itu. Baju itu memang aku yang membelinya, si Khoirul yaqin bodoh itu menyeretku ke super market dan memaksaku membelikan baju untuk hadiah ulang tahun Hime yang ke-19, ketika ia menunjuk baju itu, aku bilang saja 'iya' tanpa memperhatikan dengan baik apa yang dia pilih, aku terlalu malu karena menjadi bahan tontonan ibu-ibu yang berada di sekitar itu.

"Kalau begitu nanti ku belikan kau baju yang baru,"

"Tidak apa-apa, aku suka baju ini,"

"Tadi kau bilang seperti ibu-ibu?"

"Aku suka karena Fahmi-kun yang membelikannya,"

Aku benar-benar tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"Jadi, kemana kita akan pergi,"

"Fahmi-kun maunya kemana?"

"Kemanapun yang kamu mau,"

"Eh? Kenapa aku yang menentukan?"

"Karena ini hari ulang tahunmu," aku tersenyum tulus ke arahnya.

"Aku pikir Fahmi-kun lupa kalau hari ini hari ulang tahunku," ia sedikit menggembungkan pipinya.

"Kau tahu itu tidak mungkin Hime, jadi kemana kita akan pergi,"

Ia tampak berpikir, tersenyum, lalu memberi keputusan, "Aku mau ke villa, sudah lama aku tidak ke sana,"

"Kenapa harus ke sana?"

"Aku mau mengenang lagi masa-masa ketika Fahmi-kun melamarku," pipinya terlihat bersemu merah.

"Aku terlihat memalukan waktu itu, kau mau ke sana untuk menertawakanku?"

"E-eh? Tentu saja tidak Fahmi-kun, aku merasa Fahmi-kun waktu itu sangat so sweet,"

"Ehem," aku berusaha menenangkan diriku yang entah kenapa tiba-tiba merasa grogi. Ah aku benci perasan ini.

"Fahmi-kun…"

"Hn?"

"Mukamu memerah," ia terlihat terkikik setelah mengatakan itu.

Oh tidak!

~Engkau masih yang terindah~

~Indah di dalam hatiku~

.

.

@@@@@@@@

.

.

Sesampainya di villa, kami langsung menuju ke balkon ruang keluarga yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Duduk di sana, menghadap ke barat, memandang sang mentari perlahan meninggalkan mega. Hujan pun kini sudah mulai tampak reda.

"Aku benar-benar merindukan tempat ini, terutama sunsetnya, masih indah seperti dulu," katanya sambil menyandar di bahuku.

Aku hanya tersenyum, membiarkannya menikmati waktunya dengan keindahan yang disuguhkan alam.

Langit kini sudah gelap, matahari sudah benar-benar turun ke peraduannya.

"Sunsetnya sudah habis, ayo masuk!"

"Tidak mau," jawabnya singkat sambil mengeratkan pelukannya di lenganku.

"Aku ingin di sini, menghabiskan sisa waktuku bersama Fahmi-kun, di tempat ini," lanjutnya dengan suara makin mengecil.

Aku membulatkan mataku, kaget mendengar Hime berbicara seperti itu, seakan-akan ia tahu hidupnya tidak lama lagi.

"Kamu ngomong apa Hime?"

Ia melepaskan pelukannya, menatap lekat-lekat ke arahku. "Maafkan aku tidak memberitahumu dari awal, tapi kau pasti sudah tahu dari kak nasron—" ia terdiam, menunduk, baru kahirnya melanjutkan kaliamatnya sambil menangis "Hi-hidupku…hiks.. hidupku tidak lama lagi,"

Aku menyentuh pipinya, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku.

"Kau tidak akan kemana-mana Hime, kita akan selalu bersama," aku meyakinkannya melalui tatapan onyx-ku yang meyakinkan.

"Aku bilang aku tahu Fahmi-kun, sama seperti yang kau khawatirkan, aku takut waktuku bersamamu semakin berkurang, dalam hati terus ku hitung tiap detik yang kita lalui bersama, aku tidak ingin ada waktu yang terbuang sia-sia," aku sakit melihat air mata yang terus mengalir di pipinya itu.

Aku mencium kening Hime lembut, beberapa saat kemudian ku lepaskan. Aku kembali menatapnya lekat-lekat, "Sudah ku bilang kita akan terus bersama," ku rasakan air mata juga mengalir di pipiku.

Ia tersenyum, senyum yang biasa ku lihat darinya.

"Kalau begitu Fahmi-kun harus menemaniku menunggu pelangi,"

"Eh?"

"Aku mau melihat pelangi,"

Aku mengerutkan kening, "Tapi, mana mungkin pelangi malam hari muncul di tempat seperti ini dan di tanggal segini, Hime?"

"Aku tidak peduli, pokoknya aku mau menunggu sampai pelangi itu muncul, dan Fahmi-kun harus menemaniku,"

Otakku belum benar-benar bisa memahami permintaan Hime, tapi mau tak mau aku harus menurutinya.

Ia kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Kemudian aku mngikuti arah pandang Hime, menatap langit.

"Fahmi-kun, kau tahu istilah nightbow atau dalam istilah di Indonesia juga biasa disebut cahaya malam?" katanya sambil tetap menatap langit.

"Ya, itu istilah untuk pelangi di malam hari, saking indahnya orang-orang kita menyebutnya cahaya malam,"

"Aku merasa nightbow adalah salah satu bukti nyata adanya keajaiban di dunia ini,"

Aku memilih untuk diam, membiarkan ia mengutarakan semua yang ingin dikataknnya.

"Bodoh, itu bukan keajaiban, itu namanya fenomena alam", ucapku yang sedari kecil tak pernah berubah”sok pintar”

"Tapi aku lebih suka menyebutnya keajaiban, Fahmi-kun tidak percaya adanya keajaiban?" suaranya terdengar sedikit sedih.

"Awalnya tidak, tapi setelah bertemu denganmu, semua hariku adalah keajaiban,"

Ia tampak tersipu malu mendengar perkataanku. Kemudian ia terdiam.

Aku memperhatikan wajah Hime yang semakin memucat, lalu wajah itu seketika terlihat berseri-seri. Ia tiba-tiba berseru sambil menunjuk langit.

"Fahmi-kun, coba lihat itu! Kau lihat? Itu pelangi," kebahagian tampak jelas di wajahnya.

Mataku mengikuti arah yang ditunjuknya. Entah ini nyata atau tidak, tapi pelangi dengan tujuh warna lengkapnya kini menggantung diatas langit yang gelap. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Warna-warna itu mampu mengalahkan gelapnya langit malam. Terkesan cahaya warna-warni di gelapnya malam

"Hime-chan, inikah keajaiban yang kau tunggu itu?" aku bertanya padanya sambil tetap menatap langit.

Satu detik..

 

Dua detik..

 

Tiga detik..

 

Empat detik..

Belum ada jawaban, aku menoleh ke arah Hime, seketika hatiku remuk mendapati Hime kini menyandar tak bertenaga di pundakku, dengan mata terpejam, namun senyum masih tersungging di bibirnya. Lidahku kelu, hanya air mata yang menggambarkan kesedihanku sekarang. Ku raba denyut nadinya, sudah tak berdetak lagi. Ku guncang badannya yang sudah mulai mendingin berharap ia bangun dan hidup kembali.

Percuma kulakukan hal bodoh itu. Hime, Himeku sudah pergi selamanya. Seperti pelangi yang kini mulai pudar warnanya, dan menghilang. Mungkin tidak akan muncul lagi.

~Apa kini yang ku rasa?~

 

~Menangis ku pun tak mampu~

 

~Hanya sisa kenangan terindah~

 

~Dan kesedihanku~

.

.

-THE END-

Sobat semua… jujur saat membuat cerpen ini aku menangis…..

Mohon komentarnya ya…. Aku pengen semakin mahir lagi menulis.. trimakasih dan maaf aku melibatkan karakter dan nama kalian disitu… alasanya Cuma karna aku lebih bisa menghayati karakter jika karakter itu memang sudah exist.. atau ada..




Leave a Reply.

    Selamat datang di fahmi92 site, saya harap sobat bisa share ke teman yang lain... enjoy it

    Author

    Ini adalah kumpulan coretanku, walau gak bagus-bagus amat, i just wanna share this.. hehehe

    by. fahmi fr


    Categories

    All
    Cerpen


    Archives

    November 2012
    September 2012



    klik juga iklan-nya